Sabtu, 23 Juli 2011

Filsafat Pendidikan Islam


MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
TENTANG
PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
OLEH : 
ADE WARISKO

DOSEN PEMBIMBING :
Muhammad  Zalnur, M. Ag

Description: Muhammadiyah warna
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH  SUMATERA BARAT
2011




PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

I.         Dasar Pemikiran
Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan. Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya. Konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep pendidik dan peserta didik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal ini dikarenakan yang mendasarinya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.

Nah pada kesempatan kali ini penulis ingin menyajikan sebuah pembahasan yang berjudul "Pendidik Dan Peserta Didik".

II.                Rumusan Masalah
A.    Analisis Filosofis Pendidik
B.     Analisis Filosofis Peserta Didik


I.     Analisis Filosofis Pendidik
A.    Pengertian Pendidik
Pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam bahasa Arab, ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya asātidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instruktur (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instruktur (pelatih), dan trainer (pemandu). Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau guru pada lembaga pendidikan Al-Qur'an.
Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah, yang jelasnya makna dasar dari masing-masing istilah tersebut terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam. Dengan demikian ”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam menumbuh-kembangkan berbagai potensi positif peserta didik secara optimal sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih. Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Dan pendidik yang akan penulis sajikan disini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.

B.     Tugas Pendidik
Ramayulis membagi tugas seorang pendidik menjadi dua, yaitu : Secara umum, tugas pendidik adalah mengemban misi rahmatan li al-‘ālamīn, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Secara khusus, tugas pendidik ada tiga macam. Pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan. Kedua, sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Ketiga, sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Tugas ketiga ini menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.
Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Dalam Al-Qur’an juga disinggung bahwa tugas pendidik dalam konteks pendidik sebagai waratsatul an-biya’, memang bertugas sebagai mu’allim sekaligus sebagai muzakky. Hal ini sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya dalam surat Al-Baqarah : 151
"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

C.    Karakteristik / Kompetensi Pendidik
Al-Abrasy mengemukakan beberapa karakteristik pendidik;
1.      Seorang pendidik bersifat zuhud, artinya melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, melainkan mendidik untuk mencari keridhaan Allah.
2.      Seorang pendidik harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari dosa, sifat ria dengki, permusuhan, dan sifat-sifat tercela lainnya.
3.      Seorang pendidik harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan memiliki sifat-sifat terpuji lainnya, seperti rendah hati, jujur, lemah lembut, dan sebagainya.
4.      Seorang pendidik mesti suka memaafkan orang lain, terutama kesalahan peserta didiknya, lalu ia juga sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan mempunyai harga diri.
5.      Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya.
6.      Seorang pendidik harus mengetahui karakter/tabiat peserta didiknya.
7.      Seorang pendidik mesti menguasai pelajaran yang ia berikan.
Sementara An-Nahlawi menyebutkan beberapa karakteristik seorang pendidik, yaitu:
1.      Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.
2.      Bersifat ikhlas; melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari ridha Allah dan menegakkan kebenaran.
3.      Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik
4.      Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya
5.      Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut
6.      Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan
7.      Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional
8.      Mengetahui kondisi psikis peserta didik
9.      Tanggap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berpikir peserta didik
10.  Berlaku adil terhadap peserta didiknya
Dari karakteristik di atas dapat dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki posisi yang tinggi dan terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah, sebab Islam menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia ajarkan.



II.  Analisis Filosofis Peserta Didik
A.    Pengertian Peserta Didik
Dalam bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang menunjukkan makna peserta didik, yaitu murid, al-tilmīdz, dan al-thālib. Murid berasal dari kata ‘arada, yuridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer). Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Sedangkan al-tilmīdz tidak memiliki akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di madrasah. Sementara al-thālib berasal dari thalaba, yathlubu, thalaban, thālibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa depannya agar bahagia dunia dan akhirat.
Kemudian, dalam penggunaan ketiga istilah tersebut biasanya dibedakan berdasarkan tingkatan peserta didik. Murid untuk sekolah dasar, al-tilmīdz untuk sekolah menengah, dan al-thālib untuk perguruan tinggi. Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum untuk menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Terlepas dari perbedaan istilah di atas, yang jelasnya peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sebagai objek sekaligus subjek dalam proses pendidikan. Ia adalah orang yang belajar untuk menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. Namun untuk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Hadits.

B.     Tugas dan Kewajiban Peserta Didik
Al-Abrasyi menyebutkan ada dua belas kewajiban tersebut, yaitu:
1.      Sebelum belajar, peserta didik mesti membersihkan hatinya karena menuntut ilmu adalah ibadah.
2.      Belajar diniatkan untuk mengisi jiwanya dengan fadhilah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong
3.       Bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air serta pergi ke tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru
4.      Jangan sering menukar guru, kecuali atas pertimbangan yang panjang/matang
5.      Menghormati guru karena Allah dan senantiasa menyenangkan hatinya.
6.      Jangan melakukan aktivitas yang dapat menyusahkan guru kecuali ada izinnya.
7.      Jangan membuka aib guru dan senantiasa memaafkannya jika ia salah.
8.      Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mendahulukan ilmu yang lebih penting.
9.      Sesama peserta didik mesti menjalin ukhuwah yang penuh kasih sayang.
10.  Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya, seperti terdahulu memberi salam.
11.  Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajarannya pada waktu-waktu yang penuh berkat
12.  Bertekad untuk belajar sepanjang hayat dan menghargai setiap ilmu.

Sementara Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said Hawa, berpendapat bahwa seorang peserta didik memiliki beberapa tugas zhahir (nyata) yang harus ia lakukan, yaitu :
1.      Mendahulukan penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela karena ilmu merupakan ibadah hati, shalatnya jiwa, dan pendekatan batin kepada Allah
2.      Mengurangi keterkaitannya dengan kesibukan duniawi karena hal itu dapat menyibukkan dan memalingkan
3.      Tidak sombong dan sewenang-wenanga terhadap guru
4.      Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara banyak orang. Artinya, hendaknya di tahap awal ia mempelajari satu jalan ilmu, setelah ia menguasainya barulah ia mendengarkan beragam mazhab atau pendapat
5.      Seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang pun dari ilmu-ilmu terpuji
6.      Tidak sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu, melainkan memperhatikan urutan-urutan dan memulai dari yang paling penting
7.      Hendaknya ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika telah menguasai cabang ilmu yang sebelumnya, karena ilmu itu tersusun rapi secara berurut
8.      Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab yang dengan pengetahuan itu ia dapat mengetahui ilmu yang lebih mulia
9.      Hendaknya tujuan seorang peserta didik dalam menuntut ilmu di dunia untuk menghiasi diri dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah

Tugas dan kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga ilmu yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu pun ia peroleh. Selain tugas dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental sehingga tujuan pendidikan yang ia cita-citakan dapat tercapai secara optimal, efektif dan efisien.


KESIMPULAN

Dari uraian mengenai pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, seorang pendidik tidak hanya bertugas untuk mendidik intelektual peserta didik (transfer if knowladge), tetapi pendidik juga bertugas dalam mengembangkan kemampuan intelektual (transformation of knowladge) dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kepribadian peserta didik (internalitation of values). Oleh karena itu, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan sesuai dengan bidangnya sekaligus menjadi uswatun hasanah bagi peserta didiknya.

Kedua, dalam konsep pendidikan Islam, peserta didik bisa menjadi objek sekaligus subjek pendidikan. Sebab, peserta didik harus aktif dan dinamis dalam proses pembelajaran; bukan justru pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima tuangan ilmu dari guru begitu saja tanpa daya kritis.

Ketiga, peserta didik yang pada dasarnya menginginkan ilmu sangat membutuhkan seorang pendidik. Maka peserta didik harus menunjukkan sikap yang baik dan menghormati pendidiknya sehingga ilmu yang ia peroleh tidak sebatas pengetahuan intelektual an sich, tetapi yang terpenting adalah kemampuan mengiternalisasikan nilai-nilai pengetahuan dalam kepribadiannya serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA




Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar