Selasa, 26 Juli 2011

Ilmu Dan Fungsinya Dalam Islam


ILMU DAN FUNGSINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Orang Islam memandang bahwa semua ilmu itu penting, khusus terhadap ilmu agama dipandang sebagai ilmu suci. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah :11,
"Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat".
Maka dari itu kaum muslimin memandang  yang paling utama diatas dunia ini adalah ilmu,  mengajar ilmu itu merupakan tempat yang tertinggi sesudah tingkat para nabi-nabi,  dan ulama dapat memberi syafa'at  kepada manusia. Muslim yang bagaimana???...
Dalam syair Arab dikatakan :"hidup hati dengan ilmu karena itu milikilah dia. Dan mati hati dengan kebodohan karena itu jauhilah dia".
Ibnu khaldun mengatakan :"ilmu dan mengajar suatu kemestian dalam membangun manusia", selanjutnua ia mengatakan :"sesungguhnya manusia itu sama dengan semua binatang ditinjau dari segi sifat-sifat kehewanan, seperti perasaan , gerakan, dan  makanan…, dsb, akan tetapi perbedaan diantara manusia dengan binatang ialah dengan fikiran…, dan dari fikiran ini terjadilah ilmu pengetahuan dan ciptaan-ciptaan".
Ulama yang lain seperti Maskawaih dan Al – Ghazali mengatakan bahwa ilmu itu makanan jiwa dan akal,  dan dengan ilmu bertambahlah pengertian dan kemampuannya untuk menanggapi dan mengetahui sesuatu, Ibnu Maskawaih mengatakan kepahaman manusia bertambah selama ia melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu dan sastra dengan tekun, dan jiwa itu akan terus berkembang dengan buah pikiran yang baik, yang diperoleh dengan kemampuan menerima yang baru tanpa batas waktu.
Dalam sebuah syair pernah diungkapkan:”ilmu itu diam (statis), dan akan bergerak apabila dibaca (Iqra’), akan maju apabila ditulis, dan akan kekal apabila diajarkan”
Kita mengetahui  bahwa jiwa kita itu menerima bermacam ragam rupa dari segala sesuatu, baik yang didapat diinderakan, maupun yang dapat dipikirkan dalam bentuk yang persis dan sempurna.  Bentuk-bentuk yang diterima itu tetap terpelihara dan tidak berubah dari aslinya, dan juga tidak hilang gambarnya, bahkan gambar aslinya tetap sempurna. Kemudian jiwa kita itu akan senantiasa menerima bentuk-bentuk yang lain satu demi satu sepanjang waktu tanpa merasa lelah dan keliru, bahkan jjiwa kita itu akan bertambah kuat dengan menerima bentuk yang pertama untuk menerima bentuk-bentuk yang lain berikutnya.[1]
Ibnu Sina menjelaskan cara terjadinya rupa dan bentuk-bentuk itu sebagai berikut, "bahwa dibalik apa yang didapat ditanggap secara nyata disana terdapat  jaringan dan alat penangkap segala bentuk yang dikehendaki indera. Sebagian dari kekuatan itu dinamakan dengan :"mishwarah"(alat penggambar) dan ia terletak pada bagian muka dari otak, dan ialah yang menyimpan segala bentuk benda yang diinderakan, setelah bentuk-bentuk itu hilang yang disebabkan oleh karena kekaburan dan percampuran tanggapan indera. Bentuk-bentuk itu bisa saja hilang dari indera akan tetapi ia tetap tersimpan dalam mishwarah tadi".[2]
Ibnu khaldun mengatakan:"sesungguhnya ilmu  berfikir itu terjadi dengan sebab adanya kekuatan yang tertentu dalam diri manusia. Dengan  adanya ilmu dan berfikir itu dapat memperkembangkan akal seseorang. Karena jiwa  manusia pada taraf I  baru dapat menjelma dari satu kekuatan menjadi kenyataan apabila bertambah ilmu-ilmu dan tanggapan terhadap hal-hal yang nyata. Kemudian dengan kekuatan  berfikir ia meningkat menjadi kekuatan penanggap sesungguhnya, dan akal yang murni. Maka dengan demikian terbentuklah suatu zat rohani, dan pada waktu itulah baru sempurna wujudnya. Maka oleh karena itu seharusnyalah setiap jenis ilmu dan berfikir dapat memperkembangkan akal yang cerdas ('Aqlan faridan)…”, selanjutnya Ibnu Khaldun berpendapat bahwa: “orang yang mempelajari ilmu menulis dan berhitung secara khusus akan lebih banyak memperkembangkan akalnya dari mata pelajaran-mata pelajaran yang lain, karena kedua ilmu tersebut mempunyai lapangan berfikir dan pembuktian yang luas, dan inilah pengertian akal”.[3]
Dari penjelasan tersebut diatas  dapatlah kita  mengetahui  bahwa para ulama Islam berpendapat  bahwa ilmu itu  adalah satu  mata pelajaran dalam arti sesuatu yang dipelajari, atau dengan pengertian tergambarnya rupa ilmu itu dalam pikiran  yang dapat mempengaruhi pembentukan akal, sehingga dapat menambah kemampuan menanggap dan memahami sesuatu. Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun sama-sama menggambarkan bagaimana suatu ilmu dapat tinggal dalam sebuah hard disk besar otak manusia.
Dilalui dengan banyak proses, yang intinya mengamalkan apa yang dibawa Rasulullah SAW.
Seorang manusia itu dapat mengambil faedah dari ilmunya dan pengetahuanya sekadar intelligence yang dimilikinya, dan tidak dapat menambah akal dan intelligencenya sebanyak ilmu yang telah dimilikinya. Pendidikan dan latihan  tidak berusaha terkecuali  membangun intelligence, mempergunakannya, memunculkannya, dan mengasahnya dengan memberikan kepada seorang sebuah mata pelajaran untuk dipelajari dan dibahas. Namun demikian dalam hal lain mereka pernah mengucapkan pendapat yang hampir sama dengan pendapat modern dalam segi efek mengambil faedah dan hasil sesuai dengan kadar intelligence dan kemampuan yang dibawa sejak lahir. Sikap yang demikian ini sesuasi dengan ucapan seorang penyair Arab sebagai berikut :
"saya melihat bahwa akal itu ada dua macam
Petama yang terpatri dan yang didengar
Tidak ada gunanya akal yang didenganr
Kalau tidak ada yangh terpatri
Sebagaimana  tidak ada gunanya matahari kalau mata tidak bisa melihat”

Adapun pendapat Ibnu Khaldun tentang nilai ilmu menulis dan berhitung yang menjelaskan bahwa kedua ilmu tersebut mempunyai lapangan yang lebih luas dari ilmu-ilmu yang lain dalam menambah akal, sama sekali tidak sesuai dengan aliran pendidikan modern, yang tidak pernah mengkaitkan pada sesuatu mata pelajaran yang tertentu dengan special ability yang dapat   menambahkan daya fikir atau bertambahnya akal. Kemungkinan daya fikir itu bisa  bertambah dengan perantaraan metode yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu mata pelajaran. Umpamanya mata pelajaran sejarah, ilmu  bumi dan falsafah dapat  mempersiapkan kesempatan yang cukup untuk memperluaskan pikiran penelitian dan mengambil kesimpulan, kalau mata pelajaran-mata pelajaran tersebut dijelaskan dengan metode yang ideal. Kita tidak dapat mengatakan bahwa ilmu berhitung dan menulis sajalah yang memiliki halk demikian, akan tetapi kedua mata pelajaran ini akan memiliki keistimewaan dengan adanya metode khusus yang sesuai dengan karakter  mata pelajaran. Inilah yang dikatakan Ibnu Khaldun dengan ucapannya bahwa tiap-tiap jenis pemikiran dan ilmu akan  memperkembangkan akal yang cerdas. Umpamanya metode menjelaskan ilmu berhitung tidak sama  dengan metode mengajar problem-problem kemasyarakatan dan falsafah atau sejarah. Dan tidak semestinya seseorang yang kuat pembuktiannya dan penelitiannya dalam suatu mata pelajaran, akan kuat pula dalam mata pelajaran lain, atau dalam masalah-masalah hidup.

Bukanlah tujuan yang tertinggi dari menuntut ilmu untuk memperoleh akal, akan tetapi orang islam menjadikan ilmu itu sebagai alat untuk mencapai tujuan atau untuk memperoleh tujuan pendidikan yang tertinggi menurut pandangan mereka, yaitu keridhaan Tuhan dan menikmati kebahagiaan yang abadi di akhirat kelak. Al-Ghazali menjelaskan tugas ilmu dalam mencapai tujuan tersebut. Apabila akal menyerap ilmu, dengan demikian dia mendapat akal, atau memperoleh suatu kekuatan yang memungkinkan dia mengatasi semua keinginan naluri. Jiwa manusia menurut pendapat para ulama Islam terjadi dari bermacam-macam kekuatan". Seperti kekuatan memperbedakan sesuatu atau pemahaman, kekuatan, kemarahan yang mendorong kepada marah, dan keberanian dalam mengahadapi bahaya, dan kesukaan kepada kekuasaan, ketinggian, dan mencapai kemuliaan; kekuatan hawa nafsu yang dapat dilihat dari mencari makan, kawin, dan bermacam-macam kelezatan perasaan lainnya. Ketiga macam kekuatan ini berlainan, salah satunya bisa menjadi kuat, dan kadang lemah sesuai dengan keadaan adat kebiasaan dan pendidikan.
Kekuatan memahami dan berfikir, ia bertambah kuat dengan adanya ilmu dan pengalaman, karena dengan ini ia dapat memperoleh akal yang memampukan dia untuk menekan hawa nafsu yang mengajaknya kepada kelezatan yang cepat. Seorang dokter lebih mampu menahan dirinya dari memakan sebagian makanan yang lezat fisiknya namun sebenarnya membawa dampak yang buruk bagi kesehatan. Ini dikarenakan ia mempunyai ilmu mengenai dampak buruk dari makanan yang lezat tersebut. Ilmu yang dimiliki dokter tersebut menjadi penghambatnya dari hawa nafsu yang akan menghancurkannya. Begitupun jugalah seorang alim yang mengamalkan ilmunya dengan sebenar-benarnya juga akan diperisai oleh ilmu tersebut dirinya dari hal-hal yang akan menjerumuskannya.
Dalam hal ini Al-Ghazali sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah sine qua non (untuk mengikuti jalan yang baik, keutamaan, mengetahui nyang berfaedah dan yang  merusakkan, dan untuk mengatasi kegemaran nafsu naluri). Di lain tempat Al-Ghazali menambahkan tidak cukup hanya dengan ilmu saja, akan tetapi harus diperkuat dengan amal. Beliau mengatakan :
semua manusia itu binasa, kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu itupun juga binasa, kecuali orang yang ikhlas, dan orang yang ikhlas akan memperoleh kehormatan yang besar”.
Beliau juga mengatakan:”kalau seseorang membaca dan mempelajari 100000 masalah ilmu, dan tidak pernah mengamalkannya, maka ilmu itu tidak berguna baginya tanpa amal. Kalau sekiranya kamu mempelajari ilmu 100000 tahun dan kamu mengumpulkan 1000 buah kitab, kamu belum siap menerima rahmat Tuhan kecuali dengan mengamalkannya.
Imam Al-Ghazali memaksudkan kata amal dengan :
1.      Membersihkan kata hati dari kotoran-kotoran dunia, akhlak yang buruk, dan hawa nafsu yang merupakan hijab antara makhluk dengan khalik Allah SWT
2.      Menghias diri dengan sifat terpuji
3.      Menjauhkan diri dariu perbuatan yang tercela

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
Hanya saja yang mennjauhkan seseorang dari ilmu yang dipelajarinya adalah sedikitr ia mengambil manfa’at dari ilmu yanhg telah ia pelajari tersebut”.
Sebagian ulama Islam mengatakan “awal mula dari ilmu itu ialah niat, kemudian mendengar, memahami, menghafal, mengamalkannya, kemudian menyiarkannya”.[4]

Ikhwanus Shafa telah menjelaskan pendapat mereka dalam Rasail mereka tentang fungsi ilmu pengetahuan dan manfa’atnya dalam memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia.
Mereka mengatakan bahwa tiap-tiap ilmu yang tidak membantu untuk memperoleh tujuan, dan tidak mendorong penuntutnya beramal untuk kepentingan hari akhirat, orang itu akan disiksa di hari kiamat. Mereka menganalogikan pertumbuhan jiwa selama berada dalam tubuh dengan pertumbuhan embrio dalam rahim. Menurutnya embrio tidak akan terlahir ke atas dunia sebelum ia sempurna, begitupun dengan pertumbuhan jiwa, juga akan mencapai proses sempurna sebelum keluar dari tubuh.
Akan tetapi jika perkembangannya tidak sempurna di dalam tubuh, karena dihambat dari memperoleh ilmu pengetahuan, maka ia akan menjadi lemah.

Golongan Ikhwanus Shafa berpendapat bahwa ilmu agama tidak berdiri sendiri dalam memperoleh tujuan, akan tetapi ia bersama-sama dengan ilmu-ilmu lain yang banyak untuk memperolehnya, terutama ilmu-ilmu alam, dan ilmu falsafah.
\
Ibnul Arabi berpendapat bahwa menguatkan akal adalah dengan memiliki ilmu-ilmu aqliyah, yang akan menguatkan yang empunya.

KESIMPULAN

   Dari penjelasan diatas dapat kita mengetahui pendapat orang Muslim yang mengamalkan keislamannya tentang tugas ilmu, yaitu dapat menyebabkan bertambahnya akal, dapat mengembangkan akal yang cerdas (‘aqlan faridan).

"Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat".

Dalam syair Arab dikatakan :"hidup hati dengan ilmu karena itu milikilah dia. Dan mati hati dengan kebodohan karena itu jauhilah dia".
Imam Al-Ghazali memaksudkan kata amal dengan :
4.      Membersihkan kata hati dari kotoran-kotoran dunia, akhlak yang buruk, dan hawa nafsu yang merupakan hijab antara makhluk dengan khalik Allah SWT
5.      Menghias diri dengan sifat terpuji
6.      Menjauhkan diri dariu perbuatan yang tercela

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
Hanya saja yang mennjauhkan seseorang dari ilmu yang dipelajarinya adalah sedikitr ia mengambil manfa’at dari ilmu yanhg telah ia pelajari tersebut”.
Sebagian ulama Islam mengatakan “awal mula dari ilmu itu ialah niat, kemudian mendengar, memahami, menghafal, mengamalkannya, kemudian menyiarkannya”.[5]

DAFTAR PUSTAKA



An-Namiry Al-Qurthuby, jami’ul Bayani Ilmi wa Fadhlihi

Ibnu Khaldun, Al-Muqaddamah, Cetakan Beirut

Ibnu Maskawaih, Tahzibul Akhlak Wa Tathirul ‘A’Raq, Percetakan Wathan, Tahun 1298

Ibnu Sina, Risalah fi Quwal Insaniah wa Iradatuha



[1] Ibnu Maskawaih, Tahzibul Akhlak Wa Tathirul ‘A’Raq, Percetakan Wathan, Tahun 1298, Hal. 3-4
[2] Ibnu Sina, Risalah fi Quwal Insaniah wa Iradatuha, hal. 214
[3] Ibnu Khaldun, Al-Muqaddamah, setakan Beirut, hal. 374-375
[4] An-Namiry Al-Qurthuby, jami’ul Bayani Ilmi wa Fadhlihi, Juz 1. Hal. 118
[5] An-Namiry Al-Qurthuby, jami’ul Bayani Ilmi wa Fadhlihi, Juz 1. Hal. 118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar