Selasa, 26 Juli 2011

Hilangnya Kejujuran Dalam Pendidikan


KEJUJURAN DALAM PENDIDIKAN
Belakangan ini dunia pendidikan di Tanah Air, dikagetkan oleh peristiwa pengungkapan praktik buruk dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Adalah Siami (38 tahun), orangtua Alif, siswa SD Gadel 2, Surabaya, yang berani mengungkap praktik contek massal di sekolah anaknya saat berlangsung UN, 10-12 Mei lalu. Praktik contek massal tersebut, seperti dikisahkan sejumlah harian terbitan Ibu Kota, 16/6, bahwa sebelum praktik contek massal itu berlangsung, sekolah melakukan simulasi bagaimana agar contek massal itu berlangsung 'rapi' dan bisa 'dinikmati', bukan hanya di kelas tempat anak Siami, tetapi juga di kelas lain.
Dan, sesuai dengan hasil investigasi membuktikan adanya praktik contek massal yang dikoordinasi guru dan diketahui Kepala Sekolah (Kepsek), dua guru yang terlibat, yakni guru kelas VI, Fatkhur Rohman dan Prayitno, 'dibebastugaskan' dan dipindahkan ke Kantor Dinas Pendidikan Surabaya. Sedangkan Kepsek SDN Gadel 2, Sukatman, dicopot. Kisah di atas, bukan saja mencoreng dunia pendidikan kita, tetapi benar-benar telah melahirkan sebuah ironi pedih tentang eksistensi dan peran dunia pendidikan yang hakikatnya menjadi pusat laboratorium manusia bermutu, dan menjadi standarisasi kemajuan bangsa dan negara ke depan. Secara telanjang kisah tersebut merupakan potret citra dunia pendidikan kita, dan lebih jauh menjelaskan perihal wajah bangsa ini secara keseluruhan yang memang sudah bobrok. Kebobrokan moral bangsa, seperti merebaknya wabah korupsi dan ketidakbecusan dalam pemberantasan korupsi dan penegakan supremasi hukum dapat dijelaskan dari perspektif ini. Bagaimana bangsa ini dapat terbebas dari suap dan korupsi serta penegakan hukum yang pincang, politik uang, perselingkuhan yang merusak mahligai rumah tangga, tumbuh suburnya dunia prostitusi, dan aneka kejahatan lainnya, jika dari dunia pendidikan yang menjadi pusat persemaian manusia bermutu telah tumbuh subur kebohongan alias ketidakjujuran? Bagaimana nilai-nilai moral dan norma-norma keutamaan hidup yang baik dapat berkembang dalam masyarakat jika itu tidak dimulai dari dunia pendidikan, terutama pendidikan yang paling dasar?
Jika dicermati, kasus contek massal di atas, sebenarnya hanyalah satu kasus buruk dari begitu banyak kasus buruk yang terjadi di dunia pendidikan kita. Bukan rahasia lagi bahwa kejujuran dalam melakukan UN yang seharusnya menjadi tolok ukur awal keberhasilan pelaksanaan UN sudah lama hilang ditelan kepentingan kelulusan siswa itu sendiri. Belum lagi, perilaku tidak jujur dalam hal-hal mendasar, seperti mengerjakan pekerjaan rumah (PR) sendiri yang hingga kini dianggap lumrah oleh semua guru dan orangtua murid. Juga, tentang maraknya kasus plagiatisme yang dilakukan dosen di perguruan tinggi yang kian menegaskan perihal telah hilangnya kejujuran dari lembaga yang semestinya menjadi bibit kejujuran di tengah masyarakat. Betapa kebobrokan telah terjadi di seluruh ranah kehidupan bangsa termasuk di dunia pendidikan. Kebobrokan dalam kasus contek massal, tidak terlepas dari citra bobrok yang sehari-hari dipertontonkan oleh para pemimpin dan kelompok elite negeri ini. Juga, kasus ketidakjujuran yang telah menjelma dalam kebohongan, yaitu pengucapan ketidakbenaran di hadapan publik luas, semisal penyangkalan keterlibatan seorang politisi dalam kasus suap dan korupsi yang sungguh telah dilakukannya. Juga, ketidakjujuran yang dilakukan oleh para anggota DPR dalam menjalankan tugas legislatif, yudikatif, dan anggaran. Bukankah perilaku elite menjadi contoh bagi perilaku masyarakat bangsa seluruhnya?
Tak kalah dahsyatnya ketidakjujuran yang dipertontonkan di dunia peradilan atau di meja hijau dalam kasus-kasus penegakan hukum, dalam hal mana semua umumnya sudah diatur dan direkayasa lewat aneka macam jenis suap dan kongkalikong. Tidak aneh lagi di mata publik bangsa ini selalu diperlihatkan kisah hukum direkayasa, pengadilan dikamuflase, pengacara bukan membela kebenaran kasus, melainkan lebih menjalankan pembelaan berdasarkan nilai nominal uang yang diterimanya. Jaksa dan hakim bukan memperjuangkan penegakan keadilan dan kebenaran di meja pengadilan, tetapi melakukannya berdasarkan uang suap yang diterimanya. Ketidakjujuran juga menjelma dalam lakon-lakon sinetron yang hiper real dan membius khazanah mental publik dan menggiringnya ke alam mimpi yang jauh dari bopeng-bopeng realitas kehidupan manusia sehari-hari. Ketidakjujuran juga telah menjelma dalam kepekaan 'kebenaran' secara sepihak lewat pemanfaatan kekuatan publikasi media massa. Contoh, ketidakjujuran yang terpotret pada pengkambing-hitaman orang-orang kecil atas kesalahan orang-orang besar, seperti pemecatan para pelaku pelanggaran di lapangan untuk menutupi kesalahan para pemimpin mereka.
Untuk mencegah agar ketidakjujuran tidak beranak-pinak hingga merusak sendi-sendi kehidupan bangsa, maka pendidikan harus lebih dulu dibenahi. Karena, suatu bangsa yang tidak menyemaikan kejujuran lewat dunia pendidikan, selalu terniscayakan untuk berpusar kronis dalam lingkaran setan (circulumvitiosus) ketidakjujuran yang kian pekat dalam kehidupan keberbangsaan secara menyeluruh. Maka, pendidikan nilai-nilai kebaikan seperti kejujuran sangat mutlak diimplementasikan dalam dunia pendidikan kita. Kalau ketidakjujuran yang tersemaikan dalam dunia pendidikan menumbuh-suburkan ketidakjujuran di tengah masyarakat, maka kejujuran yang tersemaikan dalam dunia pendidikan akan beranak-pinak pula kejujuran di tengah masyarakat. Kejujuran yang tersemaikan dalam dunia pendidikan akan menggiring bangsa ke perjalanan penuh kebersahajaan dan keberadaban. Sebaliknya ketidakjujuran yang tersemaikan dalam dunia pendidikan dapat membenamkan bangsa ke dalam keterbelakangan, mengejewantahkan kemandekan sekaligus kemunduran.
Dunia pendidikan harus membenahi diri dengan terus menanamkan kejujuran sejati dalam diri anak-anak didik. Kejujuran sejati adalah obat mujarab untuk bangsa yang masih sakit sekarat akibat merajalelanya wabah suap dan korupsi serta politik uang.
Pengamat pendidikan sekaligus ulama Noer Muhammad Iskandar merasa heran terkait pengucilan warga terhadap Siami, ibunda Alifah, siswa SDN 2 Gadel Tendes, Surabaya, yang melaporkan insiden nyontek massal saat ujian nasional, April lalu.
Sebab menurut Noer, peristiwa itu telah membuka tabir tentang punahnya pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kejujuran. "Mestinya orangtua yang melaporkan bukan malah dikucilkan. Peristiwa ini karena ketiadaan pendidikan tidak baik," ujar Noer kepada okezone, Jum'at (17/6/2011). Peristiwa tersebut menunjukkan tentang perubahan karakter masyarakat Indonesa, di mana mereka lebih suka dengan pendidikan yang berbasiskan pada nilai. "Kalau masyarakat menghukum ibu Siami berarti mereka tidak senang dengan pendidikan kejujuran, tapi mereka lebih suka pada pendidikan angka," kata dia.
Menurut penilaian Noer, peristiwa ini menjadi tanggung jawab bersama untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya pendidikan moral sedini mungkin. "Keteladanan itu sudah tidak ada, tugas ini bukan pada ulama tapi tugas masyarakat juga. Tujuan pendidikan itu bukan pada nilai angka yang ada dikertas tapi memperbaiki moral demi mendidik moral anak," imbuhnya. Maka kata Noer, jalan keluar yang paling baik adalah pendidikan yang dibentuk oleh masyarakat sendiri melauli lingkungan yang kuat. "Memasukkan pendidikan agama atau moral bukanlah pokok solusi, saya rasa tidak sederhana itu, tapi yang lebih penting adalah membentuk masyarakat yang juga memiliki kepekaan terhadap pendidikan lingkungan yang dibangun oleh masyarakat sendiri," paparnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar