Selasa, 26 Juli 2011

Perspektif Islam Terhadap Aliran Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi




Perspektif Islam Terhadap Aliran Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi
Dalam Mata Kuliah Psikologi Perkembangan





Oleh :
ROBI HAMDANI

Dosen Pembimbing :
ILPI ZUKDI. M. Pd

FAKULTAS AGAMA ISLAM (F A I)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT (UMSB)
2011

Perspektif Islam Terhadap Aliran Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi

I.         Fitrah
Titik tolak perbedaan masing-masing aliran (nativisme, empirisme, dan konvergensi) adalah terletak pada faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia. Apakah perkembangan manusia ditentukan oleh faktor pembawaan (nativisme) ataukah oleh faktor pendidikan dan lingkungan (empirisme), atau keduanya saling pengaruh-mempengaruhi (konvergensi).
Dalam masalah ini, islam sebagai sebuah agama yang komprehensif mempunyai pandangan yang berbeda dengan nativisme, empirisme, dan konvergensi. Islam menampilkan teori fithrah (potensi positif) sebagai dasar perkembangan manusia. Dasar konseptualisasinya tentu saja mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist.
Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum: 30,
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapkanlah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum : 30).
Sementara dalam salah satu hadist Nabi disebutkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrahnya (potensi untuk beriman - tauhid kepada Allah dan kepada yang baik). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Makna yang terkandung dalam ayat dan hadist di atas ialah bahwa setiap manusia pada dasarnya baik, memiliki fitrah, dan juga jiwanya sejak lahir tidaklah kosong seperti kertas putih (yang diibaratkan oleh John Locke dalam teori tabularasanya) tetapi berisi kesucian dan sifat-sifat dasar yang baik. Firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf : 172,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mngeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah SWT mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) :”Bukankah Aku ini Tuhanmu ?”, mereka menjawab :”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : sesungguhnya kam (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Dengan demikian pandangan Islam terhadap perkembangan anak sama sekali berbeda dengan konsep perkembangan anak menurut nativisme, empirisme, dan konvergensi.
Fitrah merupakan keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang menjadi potensi manusia yang educable.
Potensi tersebut bersifat kompleks yang terdiri atas : ruh (roh), qalb (hati), ‘aql (akal), dan nafs (jiwa). Potensi-potensi tersebut bersifat ruhaniah atau mental - psikis. Selain itu manusia juga dibekali potensi fisik - sensual berupa seperangkat alat indera yang berfungsi sebagai instrumen untuk memahami alam luar dan berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian fitrah merupakan konsep dasar manusia yang ikut berperan dalam membentuk perkembangan peserta didik di samping lingkungan (pendidikan).
Fitrah yang bersifat potensial tersebut harus dikembangkan secara faktual dan aktual. Untuk melakukan upaya tersebut, Islam memberikan prinsip-prinsip dasarnya berupa nilai-nilai Islami sehingga pertumbuhan potensi manusia terbimbing dan terarah. Dalam proses inilah faktor pendidikan sangat besar peranannya bahkan menentukan bentuk corak kepribadian seseorang. Nampaknya itulah yang menjadikan Nabi Muhammad mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu.
Berdasarkan konseptualisasi itulah pendidikan diharapkan dapat berfungsi sebagai wahana dalam mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan fitrahnya. Dengan demikian jelaslah bahwa Islam mengakui peranan faktor dasar manusia (fitrah) dan faktor pendidikan dalam perkembangan anak. Hanya saja konsep Islam mengenai sifat dasar manusia maupun proses pendidikan yang diperlukan berbeda dengan pendirian-pendirian aliran di atas. Fitrah atau potensi (ketauhidan, kebaikan, kebenaran, dan kemanusiaan) peserta didik dengan bantuan pendidik akan berkembang dinamis. Jika kepribadian dan paradigmanya telah terbentuk maka ia akan melakukan proses mandiri menuju kesempurnaan dirinya menuju ridha Allah, sebuah posisi yang selalu dicari oleh semua muslim.

II.      Perspektif Islam Terhadap Aliran Nativisme
Fitrah yang disebut dalam surat Ar-Rum : 30, dan surat Al-A’raf : 172, mengandung implikasi kependidikan bahwa di dalam diri manusia terdapat potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-din al-qayyim) yaitu agama Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapapun atau lingkungan apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Berdasar interprestasi demikian, maka pendidikan Islam “bisa dikondisikan” berfaham nativisme, yaitu suatu faham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya.
Sebuah sabda Nabi SAW yang dapat dijadikan sumber pandangan nativisme seperti tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Artinya: “Setiap orang dilahirkan oleh ibunya atas dasar fitrah (potensi dasar untuk beragama), maka setelah itu orang tuanya mendidik menjadi beragama Yahudi, dan Nasrani, dan Majusi; jika orang tua keduanya beraga Islam, maka anaknya menjadi muslim (pula)”. (H.R. Muslim dalam kitab Shahih, Juz. II, p. 459).

III.   Perspektif Islam Terhadap Aliran Empirisme
Firman Allah dalam surat An-Nahl 78,
 “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui sesuatu apapun dan Ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati”. (An-Nahl 78).
Firman Allah di atas menjadi petunjuk bahwa kita harus melakukan usaha pendidikan, sebab dengan potensi pendengaran, penglihatan, dan hati, manusia bisa dididik.
Dalam Surat Al-‘Alaq : 3 – 4 dinyatakan oleh Allah sebagai berikut:
Artinya: “Bacalah, dan Tuhan-Mu yang Maha Mulia yang mengajar kamu dengan kalam (pena); dia mengajar manusia dengan sesuatu yang tidak ia ketahui”.
Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa manusia tanpa melalui belajar, niscaya tidak akan mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan hidupnya di dunia dan akhirat. Pengetahuan manusia akan berkembang jika diperoleh melalui proses belajar mengajar yang diawali dengan kemampuan menulis dengan pena dan membaca dalam arti luas, yaitu tidak hanya dengan membaca tulisan melainkan juga membaca segala yang tersirat di dalam ciptaan Allah. Fitrah sebagai faktor pembawa sejak lahir manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya, bahkan ia tak akan dapat berkembang sama sekali bila tanpa adanya pengaruh dari lingkungan itu. Sedang lingkungan itu sendiri juga dapat diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita manusia). Dari interpretasi tentang fitrah di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun fitrah itu dapat dipengruhi oleh lingkungan, namun kondisi fitrah tersebut tidaklah netral terhadap pengaruh dari luar. Potensi yang terkandung di dalamnya secara dinamis mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh tersebut.
Jika kita mempercayai paham John Lock sebagai dalil bahwa jiwa anak sejak lahir berada dalam keadaan suci bersih bagaikan meja lilin (tabula rasa) yang secara pasif menerima pengaruh dari lingkungan eksternal, berarti kita tidak menghargai banih-benih potensial manusia yang dapat dikembang-tumbuhkan melalui pengaruh pendidikan. Sikap demikian akan membawa pikiran kita ke arah paham Empirisme dalam pendidikan yaitu paham yang memandang bahwa pengaruh lingkungan eksternal termasuk pendidikan merupakan satu-satunya pembentuk dan penentu perkembangan hidup manusia.

IV.    Perspektif Islam Terhadap Aliran Konvergensi
Konsepsi Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa setiap manusia diberi kecenderungan nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap Tuhan-Nya, adalah firman Allah dalam surat Asy-Syams, 7 – 10 sebagai berikut:
Artinya: “Demi jiwa dan apa yang menyempurnakannya; lalu diilhamkan kepadanya oleh Allah jalan yang salah dan jalan yang benar. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya, dan sesungguhnya rugilah orang yang mengotorkannya”.
Firman tersebut dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan positif untuk mengarahkan perkembangannya kepada jalan kebenaran yaitu Islam. Dengan tanpa melalui usaha pendidikan, manusia akan terjerumus ke jalan yang salah atau sesat yaitu menjadi kafir.
Atas dasar ayat tersebut di atas kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam fitrah-Nya, manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar Kemampuan memilih tersebut, mendapatkan pengarahan dalam proses kependidikan yang mempengaruhinya.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat di dalam fitrah (human nature) manusia berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan seseorang yang menjatuhkan pilihan yang benar secara tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar dan sehat adalah merupakan kemampuan fitrah yang dapat kembangkan melalui pendidikan dan latihan.
Sejalan dengan interpretasi tersebut maka kita dapat mengatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang disengaja yaitu pendidikan dan latihan berproses secara interaktif dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam berproses secara konvergensi, yang dapat membawa kepada paham konvergensi dalam pendidikan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar