Sabtu, 23 Juli 2011

PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU



PSIKOLOGI AGAMA
TUGAS AKHIR SEMESTER II

OLEH :
ADE WARISKO
DOSEN PEMBIMBING :
Drs. Yusrizal Wahab, M. Pd


Description: Description: Muhammadiyah warna
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH  SUMATERA BARAT
2011

PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU
A.    PENGERTIAN PSIKOLOGI AGAMA
Psikologi berasal dari bahasa Inggris “Psychology”, merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani) yaitu “psych”(jiwa), “logos” (ilmu).
Agama adalah masalah yang menyangkut dengan masalah yang berhubungan dengan kehidupan bathin manusia. Menurut Harun  Nasution agama adalah :
1.      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi
2.      Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia
3.      Mengikat dari ada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada satu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia
4.      Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu
5.      Suatu sistem tingkah laku (ade of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan ghaib
6.      Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan ghaib
7.      Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat pada alam sekitar manusia
8.      Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Rasul

Dengan melihat pengertian psikologi dan agama serta objek yang dikaji, dapatlah diambil pengertian bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Dengan ungkapan lain, psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.

B.     OBJEK KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA
Yang menjadi objek dan lapangan psikologi agama adalah menyangkut gejala- gejala
kejiwaan dalam kaitannya dengan realisasi keagamaan (amaliah) dan mekanisme antara
keduanya. Dengan kata lain, meminjam istilah Zakiah Dradjat, psikologi agama
membahas tentang kesadaran agama (religious counciousness) dan pengalaman agama
(religious experience). Dengan demikian, yang menjadi lapangan kajian psikologi agama
adalah proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-
akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Sedangkan objek pembahasan psikologi agama adalah gejala- gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan, kemudian mekanisme antara psikis manusia dengan tingkah laku keagamaannya secara timbal balik dan hubungan pengaruh antara satu dengan lainnya.

C.    METODE PENELITIAN PSIKOLOGI AGAMA
Diantara metode yang digunakan dalam mengkaji psikologi agama adalah :
1.      Dokumen Pribadi
Metode ini digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan kehidupan batin
seseorang dalam hubungannya dengan agama. Untuk mengetahui informasi tentang hal ini maka dikumpulkan dokumen pribadi seseorang. Dokumen tersebut dapat berupa autobiorafi, biografi atau catatan-catatan yang dibuatnya. Metode dokumentasi tersebut dalam penerapannya dapat digunakan beberapa teknik, yaitu:
a.       Teknik Nomotatik
Pendekatan ini antara lain digunakan untuk mempelajari perbedaan-perbedaan individu. Sementara dalam psikologi agama, teknik nomotik ini antara lain untuk melihat sejauh mana hubungan sifat dasar manusia dengan sikap keagamaan.
b.      Teknik Analisis Nilai
Teknik ini digunakan dalam kaitannya dengan statistik. Data-data yang telah terkumpul diklasifikasikan menurut teknik statistik dan dianalisis untuk dijadikan penilaian terhadap individu yang diteliti.
c.       Teknik Ideography
Teknik ini hampir sama dengan teknik nomotatik, yaitu pendekatan guna memahami sifat dasar manusia. Bedanya, teknik ini lebih menekankan antara sifat-sifat dasar manusia dengan keadaan tertentu dan aspek-aspek kepribadian yang menjadi ciri khas masing-masing individu dalam rangka memahami seseorang.
d.      Teknik Penilaian terhadap Sikap  
Teknik ini digunakan dalam penelitian biografi, tulisan atau dokumen yang ada hubungannya dengan individu yang akan diteliti.
2.      Angket dan Wawancara
a.       Metode angket dan wawancara digunakan untuk meneliti proses jiwa beragama pada orang yang masih hidup. Metode ini misalnya, dapat digunakan untuk mengetahui prosentase tentang apa yang diyakini orang pada umumnya tentang sikap beragama, ketekunan beragama dan sebagainya. Pengumpulan Pendapat Masyarakat (public opinion polls), cara yang dilakukan melalui pengumpulan pendapat khalayak ramai
b.      Skala Penilaian (ratting scale)
Metode ini antara lain digunakan untuk memperoleh data tentang faktor- faktor yang menyebabkan perbedaan khas dalam diri seseorang berdasarkan pengaruh tempat dan kelompok.
c.       Tes
Metode tes digunakan untuk mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu
d.      Eksperimen
Eksperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.
e.       Observasi melalui pendekatan sosiologi dan antropologi
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sosiologi, yaitu dengan mempelajari sifat-sifat manusiawi orang perorang atau kelompok
f.       Pendekatan terhadap Perkembangan
Pendekatan ini digunakan guna meneliti asal- usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungannya dengan agama yang dianut.
g.      Metode Klinis dan Proyektivitas
Metode ini memanfaatkan cara kerja klinis. Penyembuhan dilakukan dengan cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dengan agama.
h.      Studi Kasus
Studi Kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus- kasus tertentu.
i.        Survei
Metode ini biasanya digunakan untuk penelitian sosial yang bertujuan untuk penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi dalam masyarakat.

D.    SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA
1.      Psilkologi Agama Dalam Lintasan Sejarah
Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung didalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Bahkan dalam kitab- kitab suci setiap agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama. Dalam Al Qur’an misalnya, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang-orang yang beriman atau sebaliknya, orang-orang kafir, sikap, tingkah laku dan doa- doa. Disamping itu juga terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan serta kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus tentang perawatan jiwa. Contoh lain adalah proses pencarian Tuhan yang dialami oleh Nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut dilukiskan bagaimana proses konversi terjadi. Dalam kitab-kitab suci lain pun kita
dapati proses dan peristiwa keagamaan, seperti yang terjadi dalam diri tokoh agama Budha,
Sidharta Gautama atau dalam agama Shinto yang memitoskan kaisar jepang sebagai keturunan matahari yang membuat penganutnya sedemikian mendalam ketaatannya kepada kaisar, sehinga mereka rela mengorbankan nyawanya dalam Perang Dunia II demi kaisar.
2.      Pendekatan Ilmiah Dalam Psikologi Agama
Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum tapi juga masalah-masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya the Religious Consciousness, sedangkan Rudolf Otto membahas sembahyang. Perkembangan beragama pun tidak luput dari kajian para ahli psikologi agama. Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang membahas tentang perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama pada anak-anak tidak beda dengan agama pada orang dewasa. Pada anak-anak dimana mungkin dialami oleh orang dewasa, seperti merasa kagum dalam menyaksikan alam ini, adanya kebaikan yang tak
terlihat, kepercayaan akan kesalahan dan sebagian dari pengalaman itu merupakan fakta-fakta asli yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
3.      Kajian Psikologi Agama Di Kawasan Timur
Dalam Dunia Timur tidak mau ketinggalan. Abdul Mun’in Abdul Aziz al Malighy misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada anak- anak dan remaja. Sementara di daratan anak benua Asia dan India juga terbit buku- buku yang berkaitan dengan psikologi agama. Jalaluddin menyebut judul buku berikut pengarangnya antara lain: The Song of God: Baghavad Gita. Sedang di Indonesia, sekitar tahun 1970-an tulisan tentang psikologi agama baru muncul. Karya yang patut dikedepankan adalah: Ilmu Jiwa Agama oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Agama dan Kesehatan Jiwa oleh prof. Dr. Aulia (1961), Islam dan Psikosomatik oleh S.S. Djami’an, Pengalaman dan Motivasi Beragama oleh Nico Syukur Dister, Al Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa oleh Dadang Hawari dan sebagainya. Dalam buku yang disebut terakhir misalnya, meskipun yang menjadi pembahasan mengenai kedokteran jiwa, akan tetapi membahas pula aspek- aspek agama atau spiritual dalam kaitannya dengan jiwa seseorang.

E.     SUMBER JIWA KEBERAGAMAAN
1.      Fitrah Sebagai Potensi Beragama
Fitrah beragama dalam diri manusia merupakan naluri yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan “suci” yang diilhami oleh Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah manusia mempunyai sifat suci, yang dengan nalurinya tersebut ia secara terbuka menerima kehadiran Tuhan Yang Maha Suci. Berdasarkan Al Qur’an Surat Ar Rum ayat 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Jelaslah, secara naluri manusia memiliki kesiapan untuk mengenal dan menyakini adanya Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan dan pengakuan terhadap tuhan sebenarnya telah tertanam secara kokoh dalam fitrah manusia. Namun, perpaduan dengan jasad telah membuat berbagai kesibukan manusia untuk memenuhi berbagai tuntutan dan berbagai godaan serta tipu daya duniawi yang lain telah membuat pengetahuan dan pengakuan tersebut kadang-kadang terlengahkan, bahkan ada yang berbalik mengabaikan.
2.      Pengertian Fitrah
Sedikitnya terdapat 9 (sembilan) makna fitrah yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
a.       Fitrah berarti suci
Menurut Al Auza’i, fitrah berarti kesucian dalam jasmani dan rohani. Bila dikaitkan dengan potensi beragama, kesucian tersebut dalam arti kesucian manusia dari dosa waris atau dosa asal, sebagaimana pendapat Ismail Raji Al Faruqi yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan suci, bersih, dapat menyusun drama kehidupannya, tidak peduli dengan lingkungan keluarga, masyarakat macam apa pun ia dilahirkan.
b.      Fitrah berarti Islam
Abu Hurairah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah agama. Pendapat ini berdasar pada hadits Nabi:
 “Bukankah aku telah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang allah menceritakan kepadaku dalam kitabNya bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya berpotensi menjadi orang- orang muslim”.
Berangkat dari pemahaman hadits tersebut diatas, maka anak kecil yang meninggal ia akan masuk surga. Karena ia dilahirkan dengan din al islam, walaupun ia terlahir dari keluarga non muslim.
c.       Fitrah berarti mengakui ke-Esaan Allah (Tauhid)
Manusia lahir dengan membawa konsep tauhid, atau paling tidak berkecenderungan untuk meng-Esakan Tuhannya dan berusaha terus mencari untuk mencapai ketauhidan tersebut. Jiwa tauhid adalah jiwa yang selaras dengan akal manusia.
d.      Fitrah dalam arti murni (Al Ikhlas)
Manusia lahir dengan membawa berbagai sifat, salah satu diantaranya adalah kemurnian
(keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Makna demikian didasarkan pada hadits nabi
saw: “Tiga perkara yang menjadikan selamat, yaitu ikhlas berupa fitrah Allah dimana manusia
diciptakan dariNya, shalat berupa agama dan taat berupa benteng penjagaan”.
e.       Fitrah berarti kondisi penciptaan manusia yang cenderung menerima kebenaran
Fitrah dalam arti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah. Sebagaimana firman Allah surat yasin ayat 22:
 “Mengapa aku tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku”
f.       Fitrah dalam arti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan
kesesatannya. Manusia lahir dengan ketetapannya, apakah nanti ia akan menjadi orang bahagia atau menjadi orang yang sesat.
g.      Fitrah dalam arti tabiat alami manusia
Manusia lahir dengan membawa tabi’at (perwatakan) yang berbeda- beda. Watak tersebut dapat berupa jiwa pada anak atau hati sanubari yang dapat mengantarkan untuk sampai pada ma’rifatullah. Sebelum usia baligh, anak belum bisa membedakan antara iman dan kafir, karena wujud fitrah terdapat dalam qalb yang dapat mengantarkan pada pengenalan nilai kebenaran tanpa terhalang apa pun.

h.      Fitrah dalam arti Insting (Gharizah) dan wahyu dari Allah (Al Munazalah)
Ibnu Taimiyah membagi fitrah dalam dua macam:
ü  Fitrah Al Munazalah
Fitrah luar yang masuk dalam diri manusia. Fitrah ini dalam bentuk petunjuk Al-Qur’an dan sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi Fitrah Al Gharizahah
ü  Fitrah Al Gharizah
Fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal yang berguna untuk
mengembangkan potensi dasar manusia.

F.     PERKEMBANGAN PSIKOLOGI MANUSIA
Manusia adalah mahluk sosial yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis . Manusia sebagai makhluk potensial karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan secara nyata.
Jiwa keagamaan termasuk aspek rohani  (psikis) akan sangat tergantung pada aspek fisik,dan dengan demikian pula sebaliknya . Oleh karena itu sering dikatakan kesehatan fisik akan sangat berpengaruh pada kesehatan mental . Selain itu perkembangan juga ditentukan oleh tingkat usia. Secara garis besar periode perkembangan itu dibagi:
a.       Masa Pra-natal
b.      Masa Bayi
c.       Masa Kanak-kanak
d.      Masa Pre-pubertas
e.       Masa Pubertas
f.       Masa Dewasa
g.      Masa Usia Lanjut


  1. Jenis Dan Kebutuhan
1.      Macam Kebutuhan
Dalam bukunya pengantar psikologi Kriminil karya Drs .Gerson W .Bawean .S.H. Mengemukakan Pembagian kebutuhan manusia berdasarkan pembagian yang dikemukakan oleh J P Guil Ford, Kebutuhan Individual terdiri dari :
ü  Homeostatis yaitu kebutuhan yang di tuntut tubuh dalam prose penyesuaian diri dengan lingkungan.
ü  Regulasi Temperatur , penyesuaian tubuh dalam usaha atasi kebutuhan akan perubahan Temperatur badar .
ü  Tidur . kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi dan terhindar dari gejala halusinasi.
ü  Lapar , kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh sebagai organis .
ü  Seks , kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang muncul dari dorongan mempertahankan jenis. Tidak terpenuhinya kebutuhan seks ini akan mendatangkan gangguan-gangguan kejiwaan dalam perilaku seksual yang menyimpang (Abnormal) seperti :
ü Sadisme ,kepuasan nafs seks dengan cara menyakiti orang lain.
ü Mosochisme , kepuasan nafsu dengan jalan menyakiti diri sendiri .
ü Exhibitionisme  , pemuas nafsu seksual dengan jalan menunjukkan daerah terlarang kepada orang lain .
ü Scoptophilia , pemuas nafsu seksual dengan cara mengintip lakon seks.
ü Transeksual , pemuas nafsu dengan jalan mengganti jenis kelamin .
ü Sexualoralisme , Pemuas nafsu dengan jalan memadukan mulut (oral) dengan alat kelamin.
ü Sodomy (non/Vagian Coitus) , Istilah islam dikenal dengan liwath.
Selanjutnya kelainan seksual ini pun dapat menyebabkan orang memuaskan nafsu seksnya dengan menggunakan objek lain.Diantaranya jenis kelainan itu meliputi :
Ø  Homoseksual.Pemuas nafsu seksual antara sesama laki-laki.Sesama perempuan disebut lesbian.
Ø  Pedophilia.Pemuas nafsu dengan anak-anak sebagai objeknya.
Ø  Bestiality.Pemuas nafsu dengan binatang sebagai objeknya.
Ø  Zoophilia.Pemuas nafsu seksual dengan cara mengelus-elus binatang.
Ø  Necrophilia.Pemuas nafsu seksual dengan cara mengadakan hubungan kelamin dengan mayat
Ø  Pornography.Pemuas nafsu dengan cara melihat gambar atau dengan membaca buku cabul.
Ø  Obscenity.Pemuas nafsu dengan cara mengeluarkan kata-kata kotor.
Ø  Insest.Pemuas nafsu dengan cara melakukan hubungan kelamin dengan kerabat.
Ø  Masturbasi.Pemuas nafsu dengan cara berfantasi dengan apa yang disukainya terutama wanita.
Uraian diatas menunjkkan walau tidak sepenuhnya benar , maka pendapat S.Freud tentang peranan libido seksual dalam kehidupan manusia perlu diperhatikan terutama dikalangan remaja.

G.    FAKTOR SOSIAL DALAM KEBERAGAMAAN
Kebutuhan sosial manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulus) seperti layaknya pada binatang .Kebutuhan sosial pada manusia berbentuk nilai .Jadi kebutuhan itu bukan semata-mata kebutuhan biologis melainkan juga kebutuhan rohaniah. Bentuk kebutuhan ini menurut Guilford terdiri dari :
1.      Pujian dan hinaan  Pujian merangsang manusia untuk mengejar prestasi dan kedudukan yang terpuji sedangkan hinaan menyadari manusia dari kekeliruan dan pelanggaran terhadap etika sosial.
2.      Kekuasaan dan mengalah Kebutuhan kekuasaan dan mengalah ini tercermin dari adanya perjuangan manusia yang tidak ada hentinya dalam kehidupan.
3.      Pergaulan . Kebutuhan manusia yang mendorong manusia untuk bergaul sebagai homo socius (Makhluk bermasyarakat) dan Zonpoliticon (Makhluk yang berorganisasi).
4.      Imitasi dan simpati . Kebutuhan manusia dalam pergaulannya yang tercermin dalam bentuk meniru dan mengadakan respon emosionil.Tindakan tersebut menurutnya adalah sebagai akibat adanya kebutuhan akan imitasi dan simpati.
5.      Perhatian . Kebutuhan akan  perhatian merupakan satu-satunya kebutuhan sasial yang terdapat pada setiap individu.

H.    AGAMA PADA MASA ANAK
1.      Perkembangan Jiwa Beragama Anak
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode,
a.       Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
b.      Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
c.       Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
d.      Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
e.       Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
a.       Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
b.      Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
c.       Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
d.      Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.
e.       Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.
f.       Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun
g.      Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.
h.      Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.
i.        Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
j.        Masa Tua, umur 60 tahun keatas.
2.      Agama Pada Masa Anak-Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak-anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
a.       0 – 2 tahun (masa vital)
b.      2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
c.       6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan
bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus. Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negatif. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
3.      Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a.       The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng-dongeng. Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak-kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
b.      The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan
perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
ü  Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
ü  Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
ü  Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a.       Fase dalam kandungan, untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b.      Fase bayi, Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c.       Fase kanak- kanak, Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak-kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang
tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d.      Masa anak sekolah, Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
4.      Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a.       Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
b.      Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3–7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7–9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9-12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c.       Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
d.      Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e.       Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa
teladan
f.       Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.

I.       AGAMA PADA MASA REMAJA
1.      Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja
Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:
a.       Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
b.      Fase Negatif
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
c.       Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen. Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
1. Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
2. Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
3. Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
4. Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki)
2.      Perasaan Beragama Pada Remaja
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan Tuhan sama sekali.
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang tergantung pada perubahan-perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
3.      Motivasi Beragama Pada Remaja
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi,
a.       Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
b.      Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
c.       Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
d.      Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
4.      Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
a.       Percaya ikut-ikutan, biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
b.      Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagain suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut-ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
ü  Dalam bentuk positif. Semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal-hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
ü  Dalam bentuk negatif. Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah-masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
c.       Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
ü  Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
ü  Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
d.      Tidak percaya atau cenderung atheis
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.
5.      Faktor- Faktor Keberagamaan
Menurut Robert H. Thouless ada empat faktor keberagamaan
a.       Pengaruh- pengaruh social
b.      Berbagai pengalaman
c.       Kebutuhan
d.      Proses pemikiran
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan social untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan. Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian, antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian. Faktor terakhir adalah pemikiran yang agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal-soal keagamaan, terutama bagi mereka yang mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Mereka akan mengkritik guru agama mereka yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran-ajaran agama islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor lainnya, seperti
faktor berbagai pengalaman

J.      AGAMA PADA MASA DEWASA DAN USIA LANJUT
1.      Agama Pada Masa Dewasa
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a.       Masa dewasa awal (masa dewasa dini/ young adult)
b.      Masa dewasa madya (middle adulthood)
c.       Masa usia lanjut (masa tua/ older adult)
Pembagian senada juga diungkap oleh beberapa ahli psikologi. Lewiss Sherril,
a.       masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan
diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b.      Masa dewasa tengah, sudah mulai menghadapi tantangan hidup sambil memantapkan tempat dan mengembangkan filsafat untuk mengolah kenyataan yang tidak disangka-sangka.
c.       Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah “pasrah”. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama.
Ciri- Ciri Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
d.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut- ikutan.
e.       Cenderung bersifat realis, sehingga norma- norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
f.       Bersikap positif terhadap ajaran dan norma- norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
g.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
h.      Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
i.        Bersikap lebih kritis tehadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran dan hati nurani.
j.        Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe- tipe kepribadian masing- masing.
k.      Terlihat adanya hubungan antara sikap dan keberagamaan dengan kehidupan sosial.
2.      Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan- jaringan dan sel- sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini, biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini, biasanya akan mengahadapi berbagai persoalan. Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebebkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi.
Ciri-Ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut:
a.       Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
b.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
c.       Mulai muncul pengakuan terhadap relitas tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh-sungguh.
d.      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia serta sifat- sifat luhur.
e.       Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
f.       Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap
keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akherat).

K.    KEMATANGAN BERAGAMA
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan
kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua factor yang menyebabkan adanya hambatan:
1.      Faktor diri sendiri
faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran- ajaran itu telihat perbedaanya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengemalkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentatif, walaupun apa yang harus ia lakukan itu berbeda dengan tradisi yang mungkin sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan maka akan semakin mantap dan stabil dalam melakukan aktivitas keagamaan. Namun, bagi
mereeka yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap.
2.      Faktor luar
faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak
banyak memberikan kesempatan untuk berkembang. Faktor- faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck sebagaimana dipaparkan kembali oleh William James, mengemukakan 2 faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang,
a.       Faktor intern, terdiri dari:
ü  Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
ü  Gangguan jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
ü  Konflik dan keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatic, agnotis maupun ateis.
ü  Jauh Dari Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi musibah.
b.      Faktor ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
ü  Musibah
ü  Kejahatan
Adapun ciri- ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain:
1. Optimisme dan gembira.
2. Ekstrovert dan tidak mendalam.
3. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.

L.     KONVERSI AGAMA
1.      Pengertian Konversi Agama
Konversi berasal dari kata conversion yang berarti tobat, pindah, berubah. Sehingga
convertion berarti berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religius to another).
2.      Macam-Macam Konversi
Starbuck sebagaimana diungkap kembali oleh Bernard Splika membagi konversi menjadi dua macam, yaitu:
a.       Type volitional (perubahan secara bertahap)
Yaitu konversi yang terjadi secara berproses, sedikit demi sedikit hingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan ruhaniah yang baru.
b.      Type self surrender (perubahan secara drastis)
c.       Yaitu konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan tersebut dapat terjadi dari kondisi tidak taat menjadi taat, dari tidak kuat keimanannya menjadi kuat keimanannya, dari tidak percaya kepada suatu agama menjadi percaya dan sebagainya.
3.      Faktor- faktor yang menyebabkan konversi
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa terjadinya konversi agama disebabkan oleh pengaruh sosial. Dijelaskan oleh Clark, pengaruh- pengaruh tersebut antara lain:
a.       Hubungan antar pribadi, baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat non agama.
b.      Kebiasaan yang rutin.
c.       Anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat, seperti keluarga, sahabat dan sebagainya.
d.      Pengaruh pemimpin agama
e.       Pengaruh perkumpulan berdasarkan hobi.
f.       Pengaruh kekuasaan pemimpin
4.      Proses Konversi
Proses konversi menurut H. Carrier yaitu:
a.       Terjadi disintegrasi kognitif dan motivasi sebagai akibat krisis yang dialami.
b.      Reintegrasi kepribadian berdasarkan konsepsi yang baru. Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur lama.
c.       Tumbuh sikap menerima konsep agama yang baru serta peranan yang dituntut oleh
ajarannya.
d.      Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan yang suci, petunjuk  Tuhan

M.   PROBLEM KEIMANAN
Sebagaimana perkataan Mohammad Iqbal bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad rupanya berdiri diantara dunia purba dan dunia modern. Dari sisi sumber, masa turunnya wahyu, maka ia menjadi milik dunia purba, dan dari sisi spirit, semangat dan jiwa ajaran wahyunya, maka ia milik dunia modern ,kapan saja tidak pernah using.Otentisitas ajaran Islam terjamin setelah dibukukannya ajaran itu oleh Nabi. Adapun sistem pembukuan ajaran itu antara lain :
1.      Membukukan secara otentik sumber dasar, pokok-pokok dan prinsip ajaran Islam sebagai wahyu Allah yang tertuang dalam Alqur’an.
2.      Memberikan penjelasan dan teladan secara operasional dalam kehidupan sosial budaya yang terkenal dengan Assunnah dan Al Hadits
3.      Memberikan cara atau metode untuk mengembangkan ajaran Islam secara terpadu dalam kehidupan sosial budaya dengna sistem ijtihad.
Ketiga landasan dasar itulah yakni Alqur’an, Assunnah, dan Ijtihad, yang merupakan sumber pokok ajaran Islam. Yang disini berarti bahwa Alqur’an sebagai sumber dasar, Sunnah sebagai sumber operasional dan ijtihad sebagai sumber dinamikanya, yang dengan ketiganya ini akan membentuk sistem budaya dan peradaban yang sempurna dan dinamis.

N.    SUFISME
Kontemplasi merupakan bagian dari kehidupan para mistikus. Terdapat dua tipe kontemplasi yaitu, pertama, sebagai system latihan mental seperti meditasi; kedua, sebagai system aturan perilaku yang disebut asketik. Dalam tipe kedua sebagai system aturan perilaku mempunyai cirri sebagai penolakan untuk melakukan tindakan-tindakan instingtif atau adat istiadat dan pembiasaan melakukan perbuatan-perbuatan menyakitkan.
Latihan-latihan mental para mistikus diarahkan pada pengekangan-pengekangan perilaku. Mereka dilatih berpikir tentang tentang keterkaitan antara makanan dan minuman dengan akibat yang tidak menyenangkan dan tranformasinya dalam tubuh, sehingga mereka tidak lagi memilki keinginan untuk makan dan minum.
Pada tahap berikutnya adalah sampai pada tingkat bersau (kemanunggalan) yang biasanya terungkap lewat syair-syair atau doa mistik. Dalam hal ini Santa Teresa melukiskan empat tahap doa mistik, yaitu doa ketenangan, doa penyatuan, ekstasi, dan perkawinan spiritual.
Mengenai hubungan antara mistisisme dengan gangguan mental itu dikemukakan oleh para tokoh mistik yang menunujukan bukti hysteria dan bukti tanda-tanda penyakit yang dikaitkan dengan sugestibilitas tingkat tinggi.
Para tokoh mistik dalam upaya menyucikan diri membersihkan jiwa dari keterikatan akan kenikmatan dunia adalah dengan mengasingkan diri (uzlah) dan kontemplasi. Sikap demikian juga dialami oleh penderita ganguan jiwa. Di mana dalam kondisi jiwa yang tertekan, Ia mengambil sikap menarik diri dari lingkungan atau kehidupan special. Perasaan sebagaimana tersebut di atas yang kemudian memunculkan anggapan, bahwa penderita ganguan jiwa dan perilaku tokoh-tokoh mistik yang mempunyai kesamaan. Pada bagian lain,teradap empat aspek yang dapat dikatagorikan dalam mistisisme yaiu ilmu ghaib, ilmu kebathinan, magis, dan parapsikologi. Aspek yang disebut terakhir, misalnya, membahas gejal-gejal jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera, serta perubahan yang bersifat fisik yang digerakan oleh jiwa tanpa menggunakan kekuatan yang terkait dengan tubuh manusia menyatakan bahwa komitmen agamanya tidak ada atau kurang.

Dalam penelitian tersebut diperoleh data bahwa terapi medik-psikiatrik yang diberikan tidak memperoleh hasil yang optimal bila tanpa disertai dengan terapi keagamaan (terapi psikoreligius), yaitu dengan doa dan dzikir. Dengan diikutsertakan mereka dalam kegiatan keagamaan seperti berdoa dan berdzikir (selain diberikan terapi medik-psikiatrik), maka hasilnya jauh lebih baik.
Gejala-gejala jiwa paranormal ini dimiliki seseorang berdasarkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, tanpa dipelajari sehingga memiliki kemampuan melebihi gejala jiwa yang normal seperti:
1.      Kemampuan mengetahui Sesutu peristiwa yang belum terjadi, telepati, ramalan,  meilihat sesuatu tanpa menggunakan mata dan sebagainya.
2.      Kemampuan melakukan pebuatan tanpa menggunkan kekuatan yang terdapat dalam fisik, pengobatan, stigmasi dan sebagainya.
3.      Kemampuan tersebut menjadi wajar bila dimiliki oleh para pelaku sufi yang telah mencapai derajat tinggi, khususnya sampai pada tahap makrifat, sebab salah satu dari aspek makrifat adalah pencapaian hal-hal yang gaib dari Allah.Orang yang telah mencapai makrifat maka akan tersingkap tabir yang menghalanginya dengan Allah, ia akan menemukan banyak hal tentang rahasia-rahasia alam yang merupakan ilmu Allah.

O.    PSIKOLOGI DO’A
Menyatakan antara lain bahwa setiap orang apakah ia seorang yang beragama atau sekuler sekalipun mempunyai kebutuhan dasar yang sifatnya kerohanian (basic spiritual needs). Setiap orang membutuhkan rasa aman, tenteram, terlindung, bebas dari stres, cemas, depresi dan sejenisnya.
Bagi mereka yang beragama (yang menghayati dan mengamalkan), kebutuhan rohani ini dapat diperoleh lewat penghayatan dan pengamalan keimanannya. Namun, bagi mereka yang sekuler jalan yang ditempuh adalah lewat penyalahgunaan NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya), yang pada gilirannya dapat menimbulkan dampak negatif pada diri, keluarga dan masyarakat.

Dari hasil penelitiannya itu diperoleh data bahwa para lansia yang religius banyak berdoa dan berdzikir ternyata usianya lebih panjang. Para lansia yang tidak menjalankan ibadah, berdoa dan berdzikir angka kematiannya 2 kali lebih besar dibandingkan dengan dengan mereka (lansia) yang rajin beribadah, bedoa dan berdzikir.

Larson, et. al. (1989) melakukan penelitian terhadap para pasien yang menderita hipertensi (tekanan darah tinggi), dibandingkan dengan kelompok kontrol (bukan pasien hipertensi); diperoleh kenyataan bahwa komitmen agama kelompok kontrol lebih kuat.
Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan keagamaan seperti berdoa dan berdzikir dapat mencegah seseorang menderita penyakit hipertensi. Hal serupa dilakukan oleh dua orang peneliti yaitu Levin dan Vanderpool (1989) terhadap para pasien yang menderita penyakit jantung dan pembuluh darah (cardiovasculer diseases). Dari hasil penelitiannya itu diperoleh kesimpulan bahwa kegiatan. keagamaan (peribadatan) yaitu berupa berdoa dan berdzikir akan memperkecil resiko seseorang untuk menderita penyakit jantung dan pembuluhdarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar